Rumah
Tersebutlah sebuah negeri nun jauh di seberang lautan. Di sana berdiam beberapa orang yang sedang marah, kesal dan mengutuk sejarah. Lebih banyak lagi yang rindu—tapi entah pada apa.
Apa lagi yang kurang di negeri itu? Segalanya tersedia, serba teratur, tak ada najis bahkan terkesan terlampau rapi. Semua sudah dilakukan untuk menegakkan Kuasa Tuhan seperti yang disebut dan dinubuatkan dalam kitab suci. Tapi tokh hingga kini di sana tak kunjung ada ”ujung”, tak juga hadir ”sang akhir”... ternyata dunia masih berputar—siang masih saja diikuti malam, surga pun masih harus menunggu ajal dan kiamat membukkan pintunya.
Di sudut-sudut kota yang mulai letih menanti dan memaki itu panji-panji yang membawa nama-Nya sudah mulai berkalang debu. Perjuangan telah lama kehabisan lawan kecuali dari masa lalu. Semua telah berhasil diseragamkan dan tak ada yang tampil ganjil. Setiap warga telah memakai baju dan aksesoris dari bahan dan warna yang sama dengan pola dan potongan yang diijinkan.
Sudah lama tuak tak lagi dijual di kios-kios remang, warga hanya kenal pelacur dari kisah-kisah pilu dari negeri jiran yang kafir. Dadu dan pertandingan adu tangkas tak ada lagi, karena konon itu semua hanya membawa gempa dan tsunami.
Apa lagi yang harus dibuat ketika Tuhan pun sudah berhasil diperangkap? Apa lagi yang bisa terjadi ketika sabda-Nya dikuasai para brahmana berjubah putih? Hanya mereka yang punya legitimasi—yang duduk di lembaga-lembaga tinggi—yang boleh menentukan yang mana saja yang baik dan mana yang haram. Di negeri itu, Tuhan dikalahkan pengikut-pengikutnya sendiri.
Entah sebenarnya panji-panji siapa yang digantung di sana-sini. Angin pun sering terasa enggan meniupnya. Surau-surau mengumandangkan titah Tuhan tiada henti; mengingatkan warga bahwa keadilan dan suara lain tak perlu ada asal syariat-Nya telah tegak berdiri.
Mereka belajar dari sejarah panjang yang terjadi di tanah itu beratus-ratus tahun yang lalu. Bahwa di sana pernah hidup manusia-manusia yang tak pernah bisa duduk tenang karena terus dikecam bencana. Gejolak dan bom meledak-ledak di tengah-tengah hari yang sibuk atau di malam-malam ketika hidangan baru saja tersaji di atas meja-meja restauran. Ketika itu, panji-panji-Nya baru saja akan dikibarkan.
Beratus-ratus tahun yang lalu Tuhan masih belum sudi menginjakkan kaki-Nya di negeri itu. Kata mereka—saat itu ajaran-Nya masih terlalu bebas untuk dipahami dan diredefinisi siapa saja... sesuatu yang bila sekarang dilakukan berarti kepala yang terpenggal. Sabda-Nya hanya berhak ditafsir sekelompok brahmana yang duduk di kursi-kursi empuk—selebihnya yang ada cuma kembang-kembang hiasan.
Aneh rasanya buat warga negeri itu mendengar kata-kata seperti toleransi apalagi apresiasi. Tak seperti leluhur mereka yang begitu bangga bila disebut sebagai orang yang toleran dan apresiatif. Bahkan membicarakan tentang pluralitas, tentang kebhinnekaan.. adalah tindakan yang mengguncangkan sendi-sendi negara.
Dahi mereka pun kadang berkerut jika membaca kisah-kisah ”prasejarah” yang bercerita bahwa di sebuah kawasan di negeri itu yang dulu pernah menjadi ibukota pernah berdiri tempat ibadah yang megah yang ternyata diarsiteki oleh umat beragama lain. Bagaimana itu mungkin?—komentar mereka—Pantas saja mereka dilaknat oleh Tuhan!
Bahkan—para pelajar melanjutkan bacaan mereka—dahulu, mereka pernah memilih seorang wanita sebagai penguasa. Tak masuk akal! Mereka juga punya artis goyang pinggul yang sering manggung di mana-mana bahkan sampai ke luar negeri. Mereka tak melindungi wanita dari kelam-malam dan membiarkan mereka bepergian tanpa kawalan. Wanita—dengan suara dan tubuhnya—menjadi sebab kehancuran karena moral yang binal...
Kini, di negeri nun jauh di seberang lautan itu, perjuangan hanya tinggal monumen yang mencibir masa lalu. Menghardiknya karena mempersilakan yang haram dijual di pinggir-pinggir jalan. Mencerca karena tak membiarkan syariat-Nya dijalankan negara. Kehidupan telah lama ditukar seikat sabda berumur ribuan tahun, yang kata mereka, Tak memerlukan pemaknaan baru. Sekarang, Tuhan benar-benar telah bisu... Ia sudah berhenti berkata-kata.
Di sana, Tuhan telah lama mati.. terlalu jompo tampil di muka umum.. atau kehadiran-Nya tak perlu lagi. Ia telah dimenangkan sekaligus dipecundangi ratusan tahun lalu ketika warga negeri itu menjadikan satu kitab-Nya sebagai sebuah hukum dan undang-undang.
Dan, sebuah undang-undang tak bisa menginspirasi hidup.. ia hanya bisa menimbang lalu berkata benar atau tidak. Lalu hidup yang dibangun di atasnya hanyalah sekedar imitasi. Penduduk negeri di seberang lautan itu merasakan ada yang hilang... mereka rindu—tapi, entah kepada apa.
Di jantung negeri itu Tuhan telah mereka buatkan rumah yang megah dan indah—dan seringkali riuh oleh orang-orang yang menyenandungkan doa, namun dengan pintu dan jendela yang tertutup rapat dan tak ”dibuka” dari dalam—dan tentu saja—tak bisa ”dimasuki” dari luar.
Oh Tuhan kapan aku bisa menjenguk-Mu, lalu kita bisa berjalan-jalan lagi, berbincang dan minum teh bersama di kebun belakang seperti dulu...
Apa lagi yang kurang di negeri itu? Segalanya tersedia, serba teratur, tak ada najis bahkan terkesan terlampau rapi. Semua sudah dilakukan untuk menegakkan Kuasa Tuhan seperti yang disebut dan dinubuatkan dalam kitab suci. Tapi tokh hingga kini di sana tak kunjung ada ”ujung”, tak juga hadir ”sang akhir”... ternyata dunia masih berputar—siang masih saja diikuti malam, surga pun masih harus menunggu ajal dan kiamat membukkan pintunya.
Di sudut-sudut kota yang mulai letih menanti dan memaki itu panji-panji yang membawa nama-Nya sudah mulai berkalang debu. Perjuangan telah lama kehabisan lawan kecuali dari masa lalu. Semua telah berhasil diseragamkan dan tak ada yang tampil ganjil. Setiap warga telah memakai baju dan aksesoris dari bahan dan warna yang sama dengan pola dan potongan yang diijinkan.
Sudah lama tuak tak lagi dijual di kios-kios remang, warga hanya kenal pelacur dari kisah-kisah pilu dari negeri jiran yang kafir. Dadu dan pertandingan adu tangkas tak ada lagi, karena konon itu semua hanya membawa gempa dan tsunami.
Apa lagi yang harus dibuat ketika Tuhan pun sudah berhasil diperangkap? Apa lagi yang bisa terjadi ketika sabda-Nya dikuasai para brahmana berjubah putih? Hanya mereka yang punya legitimasi—yang duduk di lembaga-lembaga tinggi—yang boleh menentukan yang mana saja yang baik dan mana yang haram. Di negeri itu, Tuhan dikalahkan pengikut-pengikutnya sendiri.
Entah sebenarnya panji-panji siapa yang digantung di sana-sini. Angin pun sering terasa enggan meniupnya. Surau-surau mengumandangkan titah Tuhan tiada henti; mengingatkan warga bahwa keadilan dan suara lain tak perlu ada asal syariat-Nya telah tegak berdiri.
Mereka belajar dari sejarah panjang yang terjadi di tanah itu beratus-ratus tahun yang lalu. Bahwa di sana pernah hidup manusia-manusia yang tak pernah bisa duduk tenang karena terus dikecam bencana. Gejolak dan bom meledak-ledak di tengah-tengah hari yang sibuk atau di malam-malam ketika hidangan baru saja tersaji di atas meja-meja restauran. Ketika itu, panji-panji-Nya baru saja akan dikibarkan.
Beratus-ratus tahun yang lalu Tuhan masih belum sudi menginjakkan kaki-Nya di negeri itu. Kata mereka—saat itu ajaran-Nya masih terlalu bebas untuk dipahami dan diredefinisi siapa saja... sesuatu yang bila sekarang dilakukan berarti kepala yang terpenggal. Sabda-Nya hanya berhak ditafsir sekelompok brahmana yang duduk di kursi-kursi empuk—selebihnya yang ada cuma kembang-kembang hiasan.
Aneh rasanya buat warga negeri itu mendengar kata-kata seperti toleransi apalagi apresiasi. Tak seperti leluhur mereka yang begitu bangga bila disebut sebagai orang yang toleran dan apresiatif. Bahkan membicarakan tentang pluralitas, tentang kebhinnekaan.. adalah tindakan yang mengguncangkan sendi-sendi negara.
Dahi mereka pun kadang berkerut jika membaca kisah-kisah ”prasejarah” yang bercerita bahwa di sebuah kawasan di negeri itu yang dulu pernah menjadi ibukota pernah berdiri tempat ibadah yang megah yang ternyata diarsiteki oleh umat beragama lain. Bagaimana itu mungkin?—komentar mereka—Pantas saja mereka dilaknat oleh Tuhan!
Bahkan—para pelajar melanjutkan bacaan mereka—dahulu, mereka pernah memilih seorang wanita sebagai penguasa. Tak masuk akal! Mereka juga punya artis goyang pinggul yang sering manggung di mana-mana bahkan sampai ke luar negeri. Mereka tak melindungi wanita dari kelam-malam dan membiarkan mereka bepergian tanpa kawalan. Wanita—dengan suara dan tubuhnya—menjadi sebab kehancuran karena moral yang binal...
Kini, di negeri nun jauh di seberang lautan itu, perjuangan hanya tinggal monumen yang mencibir masa lalu. Menghardiknya karena mempersilakan yang haram dijual di pinggir-pinggir jalan. Mencerca karena tak membiarkan syariat-Nya dijalankan negara. Kehidupan telah lama ditukar seikat sabda berumur ribuan tahun, yang kata mereka, Tak memerlukan pemaknaan baru. Sekarang, Tuhan benar-benar telah bisu... Ia sudah berhenti berkata-kata.
Di sana, Tuhan telah lama mati.. terlalu jompo tampil di muka umum.. atau kehadiran-Nya tak perlu lagi. Ia telah dimenangkan sekaligus dipecundangi ratusan tahun lalu ketika warga negeri itu menjadikan satu kitab-Nya sebagai sebuah hukum dan undang-undang.
Dan, sebuah undang-undang tak bisa menginspirasi hidup.. ia hanya bisa menimbang lalu berkata benar atau tidak. Lalu hidup yang dibangun di atasnya hanyalah sekedar imitasi. Penduduk negeri di seberang lautan itu merasakan ada yang hilang... mereka rindu—tapi, entah kepada apa.
Di jantung negeri itu Tuhan telah mereka buatkan rumah yang megah dan indah—dan seringkali riuh oleh orang-orang yang menyenandungkan doa, namun dengan pintu dan jendela yang tertutup rapat dan tak ”dibuka” dari dalam—dan tentu saja—tak bisa ”dimasuki” dari luar.
Oh Tuhan kapan aku bisa menjenguk-Mu, lalu kita bisa berjalan-jalan lagi, berbincang dan minum teh bersama di kebun belakang seperti dulu...
1 Comments:
Is this ur original writing?
WOW :)
Post a Comment
<< Home