Wednesday, May 31, 2006

Pancasila

Lama sudah kata-kata ini tak terdengar lagi diumbar-umbar. Buat saya-kecil, Pancasila adalah hapalan dengan 36 (trus jadi 45... nomer cantik rupanya) butirnya (ini siapa sih yang mbikin?!) yang sering membuat pening—karena saya memang susah mengingat yang panjang-panjang. Boro-boro itu, wong nomer handphone sendiri saja saya suka lupa.

Jaman berganti. Soeharto—dengan pemerintahannya yang lebih mirip kerajaan dengan mistisismenya terhadap lambang-lambang kenegaraan termasuk jabatan kepresidenan itu sendiri—akhirnya tumbang delapan tahun lalu. Bersamanya tumbang pula keangkeran Istana, UUD 1945, Pohon Beringin, dan Pancasila. Yang saya sebut terakhir ini mungkin nasibnya paling tersisih. Ia tak semenarik Istana yang diperebutkan (juga sekarang sering kecolongan atau kalau tidak ya.. digerogoti rayap dan tikus). Ia tak seseru UUD yang sudah empat kali diamandemen. Bahkan ia bukan tandingan Pohon Beringin—dan partai yang memakainya sebagai logo—yang pemilu kemarin paling banyak dicoblos orang. Sementara, Pancasila—juga Garuda-nya—terbang entah di mana.

Masih inget bunyi sila-silanya? Nggak.. saya nggak akan nanya soal butir-butirnya yang bikin repot itu, koq. Sekedar mengingatkan (kembali ke masa-masa sekolah dulu):
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Pemerintah Orde Baru memasukkan Pancasila dalam kurikulum nasional. Sebut saja PMP (Pendidikan Moral Pancasila), PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa), Penataran P4, PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan), dsb. Namun sayang, murid-murid—termasuk saya waktu itu—cuma kebagian menghapal dan (diharap) menjawab pertanyaan sesuai dengan kunci jawaban yang seragam dalam ujian-ujian Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Pancasila menjadi simbol yang dipaksakan. Ia tak hidup karena dikubur dalam-dalam oleh berbagai mistifikasi. Tak heran Pancasila ditinggalkan.

(Ketika itu) jangan berharap ada ruang untuk reintrepretasi, redefinisi. Perbedaan hanya punya satu makna: subversif. Pancasila tak diberi kesempatan untuk tumbuh dan menemukan ruang bebas dalam kehidupan praksis masyarakat. Hasilnya hanya kemandekan; kemandekan yang menghantar pada krisis jati diri. Kita sekarat karena ‘akar’ kita dikerat.

Besok, bangsa Indonesia mengenang lahirnya Pancasila 61 tahun yang lalu. Sebuah simposium besar digalang di Jakarta yang dihadiri Presiden dan para petinggi dan intelektualis bangsa. Semoga melaluinya, Garuda Pancasila kita bisa bangkit dari puing-puing negeri ini seperti burung Phoenix untuk terus hidup dan bukan sekedar jadi pajangan dingin di dinding.

Ya, Pancasila bukanlah agama tapi sebentuk ikhtiar untuk mencapai kualitas kehidupan bersama yang semakin membaik. Dan, ikthiar tak bisa mati; ia bergelut dan bergerak.

Hanya Pancasila yang bisa mempersatukan yang Batak, yang Tionghoa, yang Papua, yang Bali, yang Buddha, yang Kristen, yang Hindu, yang Islam... semua bisa berpayung di bawahnya dan kita berkumpul menjadi satu bangsa. Tujuan kita bernegara adalah mencapai kesejahteraan bersama; aku sejahtera, kamu sejahtera, dia juga sejahtera. Tidak! Agama dan syariat-mu tidak bisa membuat kita berkumpul dan bertekat bersama... tapi Pancasila bisa.

Jayalah Indonesia!

0 Comments:

Post a Comment

<< Home