Saturday, May 06, 2006

Ketika Hidup tak Seindah Mawar

Tak ada yang menduga, pekarangan nan hijau dengan mawar-mawar merah segar bermekaran itu hanyalah imaji. Ada sebuah filosofi yang diuntai: bahwa agar mencapai sukses, seseorang harus menampilkan kesuksesan di mata khalayak. Namun, dibalik pintu rumah yang serba ramah dengan pekarangan yang indah itu, siapa yang tahu?


Itulah kemolekan Amerika yang demikian menggoda. Kemolekan itu telah membuat ribuan orang mencari kehidupan di sana. Ada yang bertandang baik-baik lewat pos-pos imigrasi, namun lebih banyak lagi yang datang sembunyi-sembunyi. Beberapa berhasil menuai sukses. Kaya raya, nama yang dikenal, dan serenteng gemerlap dunia menyertai. Tak sedikit pula yang terhenyak di balik pintunya.

Ternyata tak hanya para pendatang, haram maupun legal, yang tertipu. Orang-orang bule Amerika yang tak asli itu sendiri juga masih tak kebal kaget. Padahal sehari-harinya mereka hidup bersama kepalsuan mereka masing-masing yang mereka namai imaji, citra yang wangi dan dendi.

Adalah Sam Mendes sebagai sutradara dan Alan Ball yang menguntai cerita dengan penuh satir dalam sebuah film komedi-tragedi yang mendapat Oscar: American Beauty. Film yang dibintangi Kavin Spacey dan Anette Bening ini juga menginspirasi lahirnya karya-karya dari kamera para sineas Amerika, seperti Six Feet Under--yang juga ditulis oleh Ball--dan serial yang sedang laris manis saat ini: Desperate Housewives, karya Mike Cherry.

Perkenalkan keluarga Burnham: dengan Laster--sang ayah--yang kuyu dan Carolyn--istrinya--yang bercita-cita menjadi realtor yang sukses. Sudah bertahun-tahun mereka tak lagi akur, di atas dan di luar ranjang. Dengan hidup masing-masing yang tak saling nyambung, mereka membesarkan anak semata wayangnya, Jane.

Makan malam bersama di ruang makan, diiringi musik klasik pilihan sang ibu, memang tak pernah absen mereka lakukan bersama. Percakapan seadanya sesekali terjadi di sela-sela bersantap. Namun hambar. Tidak Laster atau Carolyn juga Jane yang merasa hidup mereka menarik. Dan sebenarnya, mereka juga tak saling tertarik dengan hidup satu sama lain. Lalu buat apa? Agar mereka dianggap sebagai keluarga yang 'normal', tentu.

Jane punya seorang teman, Angela Hayes yang pirang dan--paling penting--populer. Angela ogah punya hidup yang yang biasa-biasa saja yang menurutnya bagai kutukan terbesar. Ia mengaku ke sana ke mari sebagai calon model top Amerika kelak. Ia juga sering bercerita kepada Jane tentang cowok-cowok yang selalu terangsang ketika melihatnya. Juga tentang hubungan badannya dengan sesama murid di sekolah mereka hingga seks yang dilakukannya dengan seorang fotografer terkenal yang menjanjikan akan mengorbitkan namanya. Angela selalu bersemangat bercerita, hanya saja itu semua ternyata bohong belaka.

Hidup keluarga Burnham berubah sejak keluarga Fitts menempati rumah kosong di sebelah mereka. Sang ayah adalah kolonel marinir pendiam yang gandrung dengan segala hal yang berbau militer, dari senjata api hingga piring NAZI.

Colonel Fitts, yang homophobic punya seorang putra yang sudah 'pandai' mengumpulkan uang dari bisnis ganjanya. Saking pandainya, sang kolonel tak pernah tahu tentangnya meskipun ia mengawasi dengan ketat hidup anaknya itu. Bahkan, setiap enam bulan sekali Ricky Fitts harus menyerahkan urin untuk dites, namun ia selalu lolos, bahkan penghasilannya telah mencapai 40ribu-an dolar. Ricky adalah teman Jane di sekolah barunya. Mereka kemudian saling jatuh cinta.

Lester bertemu Angela suatu malam di jeda pertandingan basket SMU. Di sana, Angela--juga Jane--adalah cheerleader dengan rok pendek yang sungguh menggoda. Gejolak darah mudanya pun kembali memompakan semangat dalam hidupnya yang layu. Apalagi ketika Lester menguping ketika Angela mengatakan kepada Jane, bahwa ayahnya hanya perlu sedikit work out untuk bisa masuk kriteria seksi. Sejak itu, Lester--yang sering membayangkan bercinta dengan Angela--rajin membentuk tubuhnya ditemani ganja pemberian Ricky.

Di saat yang sama, Carolyn bertemu dengan seorang realtor kondang pujaannya bernama Buddy Kane yang flamboyan itu dalam sebuah pesta. Carolyn menemukan sosok sukses dalam diri Buddy. Dalam waktu singkat, Buddy--yang baru saja ditinggal sang istri--dan Carolyn menjalin cinta yang membuat hidupnya kembali membara.

Ball membungkus kisah ini dari sudut pandang Lester yang bercerita dari ketinggian langit. Lester membuka helai demi helai kisahnya dan tokoh-tokoh lain bukan untuk mencaci atau mengutuk hidupnya sendiri, tapi untuk disyukuri. Lho?

Bagaimana tidak, di ujung hidupnya, Lester menemukan kembali harga dirinya. Ia keluar dari pekerjaannya--bukan dipecat!--yang ia sebut "pelacuran di dunia periklanan" dengan uang pesangon hampir 60ribu dolar hasil memeras sang bos. Tak hanya itu, Lester berhasil mengambil kembali martabatnya dari sang istri yang selama ini mendominasi. Ia jual mobil lama mereka demi Pontiac merah yang sejak kecil ia inginkan. Walaupun akhirnya Lester mati dengan kepala yang menganga namun dengan senyum menang di bibir.

Film yang mengandalkan kekuatan pada kisah dan akting yang memukau ini tak hanya sukses membawa pulang Oscar untuk film terbaik dan Kevin Spacey sebagai aktor paling mumpuni tahun itu. Film ini juga terbukti mampu mengangkat kehidupan 'sehari-hari' masyarakat subperkotaan di Amerika yang ternyata tak seindah taman di pekarangan rumah menjadi tontonan yang asik.

Entah kapan kita, di Indonesia, bisa memotret keseharian masyarakat--yang tak kalah bermasalahnya ini--dalam sebuah film yang jujur namun tetap renyah. Menghenyakkan kita pada kenyataan dan mengajarkan sebuah pesan penting tanpa mengurui: bahwa kepalsuan akan selalu ada di tengah masyarakat yang memuja citra luar seseorang, yang tak hanya terjadi jauh di seberang benua sana, namun juga di sini, di sekitar kita. Atau--mungkin--kita sendiri.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home