Tuesday, July 11, 2006

Pilihan

Kekayaan yang sejati adalah Kebebasan. Dan Kebebasan hanya bermakna bila ia mampu untuk Memilih.

Hidup memang penuh pilihan. Kita sering dihadapkan pada pilihan-pilihan: Mau makan apa hari ini? Mau ke kanan atau ke kiri? Mau menikmati dulu jadi jomblo atau ingin cepat-cepat menikah? Ingin beli sepatu atau buku? Mau nembak sang pujaan hati sekarang atau besok lusa? Ingin sekolah lagi atau bekerja? Mau mencoblos Pak SBY atau Bu Mega? Dan masih banyak lagi...

Tak semua manusia beruntung diberkati beraneka ragam pilihan. Bahkan pada beberapa kasus, kita sering merasa tak punya pilihan. Mungkin itulah yang membedakan si kaya dari si miskin. Kaya dan miskin yang saya maksudkan di sini adalah dalam artian yang seluas-luasnya.

Misalnya, si kaya punya pilihan: untuk pergi ke kampus naik mobil atau motor atau angkot bahkan berjalan kaki. Mau cara yang manapun ia bisa tergantung kepentingan dan suasana hati. Sementara si miskin tak punya pilihan sebanyak si kaya. Itu semua masih dalam satu kerangka batas bernama: uang. Di samping soal uang, masih banyak lagi batasan yang melingkupi setiap pilihan.

Mereka yang kaya adalah mereka yang tidak membiarkan diri mereka terjajah atau diatur oleh sesuatu di luar diri. Mereka inilah si kaya yang sesungguhnya karena ia memiliki kebebasan untuk bertindak. Dan paradoksnya: kebebasan akan selalu diikuti oleh tanggung jawab.

Tanggung jawab tidak datang dari luar. Tanggung jawab tidak hadir—dan tidak pernah akan hadir—dari kekangan masyarakat atau siapapun. Karena setiap kekangan dan pembatasan hanya akan melahirkan penahanan diri. Dan orang-orang yang tertahan ini jika suatu saat diberi kesempatan sedikit saja untuk bebas, maka ia akan menggunakan kesempatan itu semaksimal mungkin bahkan cenderung berlebihan.

Tanggung jawab lahir dari kesadaran sedangkan penahanan diri hadir karena ketidakberdayaan. Dan tahukah... bahwa Anda dan saya, kita semua Berdaya! Kita semua Bebas Merdeka! Kita semua Kaya! Tapi sayang, tak semua dari kita yang menyadari kekayaan diri dan merasa lembih nyaman dan aman hidup dalam pilihan yang terbatas.

Saturday, June 17, 2006

Rumah

Tersebutlah sebuah negeri nun jauh di seberang lautan. Di sana berdiam beberapa orang yang sedang marah, kesal dan mengutuk sejarah. Lebih banyak lagi yang rindu—tapi entah pada apa.

Apa lagi yang kurang di negeri itu? Segalanya tersedia, serba teratur, tak ada najis bahkan terkesan terlampau rapi. Semua sudah dilakukan untuk menegakkan Kuasa Tuhan seperti yang disebut dan dinubuatkan dalam kitab suci. Tapi tokh hingga kini di sana tak kunjung ada ”ujung”, tak juga hadir ”sang akhir”... ternyata dunia masih berputar—siang masih saja diikuti malam, surga pun masih harus menunggu ajal dan kiamat membukkan pintunya.

Di sudut-sudut kota yang mulai letih menanti dan memaki itu panji-panji yang membawa nama-Nya sudah mulai berkalang debu. Perjuangan telah lama kehabisan lawan kecuali dari masa lalu. Semua telah berhasil diseragamkan dan tak ada yang tampil ganjil. Setiap warga telah memakai baju dan aksesoris dari bahan dan warna yang sama dengan pola dan potongan yang diijinkan.

Sudah lama tuak tak lagi dijual di kios-kios remang, warga hanya kenal pelacur dari kisah-kisah pilu dari negeri jiran yang kafir. Dadu dan pertandingan adu tangkas tak ada lagi, karena konon itu semua hanya membawa gempa dan tsunami.

Apa lagi yang harus dibuat ketika Tuhan pun sudah berhasil diperangkap? Apa lagi yang bisa terjadi ketika sabda-Nya dikuasai para brahmana berjubah putih? Hanya mereka yang punya legitimasi—yang duduk di lembaga-lembaga tinggi—yang boleh menentukan yang mana saja yang baik dan mana yang haram. Di negeri itu, Tuhan dikalahkan pengikut-pengikutnya sendiri.

Entah sebenarnya panji-panji siapa yang digantung di sana-sini. Angin pun sering terasa enggan meniupnya. Surau-surau mengumandangkan titah Tuhan tiada henti; mengingatkan warga bahwa keadilan dan suara lain tak perlu ada asal syariat-Nya telah tegak berdiri.

Mereka belajar dari sejarah panjang yang terjadi di tanah itu beratus-ratus tahun yang lalu. Bahwa di sana pernah hidup manusia-manusia yang tak pernah bisa duduk tenang karena terus dikecam bencana. Gejolak dan bom meledak-ledak di tengah-tengah hari yang sibuk atau di malam-malam ketika hidangan baru saja tersaji di atas meja-meja restauran. Ketika itu, panji-panji-Nya baru saja akan dikibarkan.

Beratus-ratus tahun yang lalu Tuhan masih belum sudi menginjakkan kaki-Nya di negeri itu. Kata mereka—saat itu ajaran-Nya masih terlalu bebas untuk dipahami dan diredefinisi siapa saja... sesuatu yang bila sekarang dilakukan berarti kepala yang terpenggal. Sabda-Nya hanya berhak ditafsir sekelompok brahmana yang duduk di kursi-kursi empuk—selebihnya yang ada cuma kembang-kembang hiasan.

Aneh rasanya buat warga negeri itu mendengar kata-kata seperti toleransi apalagi apresiasi. Tak seperti leluhur mereka yang begitu bangga bila disebut sebagai orang yang toleran dan apresiatif. Bahkan membicarakan tentang pluralitas, tentang kebhinnekaan.. adalah tindakan yang mengguncangkan sendi-sendi negara.

Dahi mereka pun kadang berkerut jika membaca kisah-kisah ”prasejarah” yang bercerita bahwa di sebuah kawasan di negeri itu yang dulu pernah menjadi ibukota pernah berdiri tempat ibadah yang megah yang ternyata diarsiteki oleh umat beragama lain. Bagaimana itu mungkin?—komentar mereka—Pantas saja mereka dilaknat oleh Tuhan!

Bahkan—para pelajar melanjutkan bacaan mereka—dahulu, mereka pernah memilih seorang wanita sebagai penguasa. Tak masuk akal! Mereka juga punya artis goyang pinggul yang sering manggung di mana-mana bahkan sampai ke luar negeri. Mereka tak melindungi wanita dari kelam-malam dan membiarkan mereka bepergian tanpa kawalan. Wanita—dengan suara dan tubuhnya—menjadi sebab kehancuran karena moral yang binal...

Kini, di negeri nun jauh di seberang lautan itu, perjuangan hanya tinggal monumen yang mencibir masa lalu. Menghardiknya karena mempersilakan yang haram dijual di pinggir-pinggir jalan. Mencerca karena tak membiarkan syariat-Nya dijalankan negara. Kehidupan telah lama ditukar seikat sabda berumur ribuan tahun, yang kata mereka, Tak memerlukan pemaknaan baru. Sekarang, Tuhan benar-benar telah bisu... Ia sudah berhenti berkata-kata.

Di sana, Tuhan telah lama mati.. terlalu jompo tampil di muka umum.. atau kehadiran-Nya tak perlu lagi. Ia telah dimenangkan sekaligus dipecundangi ratusan tahun lalu ketika warga negeri itu menjadikan satu kitab-Nya sebagai sebuah hukum dan undang-undang.

Dan, sebuah undang-undang tak bisa menginspirasi hidup.. ia hanya bisa menimbang lalu berkata benar atau tidak. Lalu hidup yang dibangun di atasnya hanyalah sekedar imitasi. Penduduk negeri di seberang lautan itu merasakan ada yang hilang... mereka rindu—tapi, entah kepada apa.

Di jantung negeri itu Tuhan telah mereka buatkan rumah yang megah dan indah—dan seringkali riuh oleh orang-orang yang menyenandungkan doa, namun dengan pintu dan jendela yang tertutup rapat dan tak ”dibuka” dari dalam—dan tentu saja—tak bisa ”dimasuki” dari luar.

Oh Tuhan kapan aku bisa menjenguk-Mu, lalu kita bisa berjalan-jalan lagi, berbincang dan minum teh bersama di kebun belakang seperti dulu...

Thursday, June 15, 2006

Tubuh

- sekali lagi tentang RUU APP -

Suara yang menyeru-nyeru soal RUU APP sudah banyak. Suara-suara itu sudah ruah, terlalu riuh bahkan mulai terasa menjemukan. Di satu sisi RUU ini didukung penuh; tak ada kata mundur. Mereka berdalih, inilah cara menyelamatkan moral bangsa yang—menurut mereka—telah sedemikian terpuruk. Di seberangnya, ada suara-suara yang berkata bahwa RUU ini hanya sampah. Dan, seperti sampah, mereka mencium busuknya.

---

Tubuh. Setiap kita punya sepaket tubuh. Ada kaki dan tangan yang sepasang. Ada pula kepala dengan mata, hidung, mulut, kuping, alis yang kita sebut wajah. Ada rambut yang hitam mengakar di kulit kepala. Ada leher, dada, payudara, pusar, perut, kelamin, pantat dan punggung. Itu baru yang nampak.

Yang tak bisa dijamah mata dan diraba, kita semua juga punya: tenaga yang menggerakkan badan dan pikiran yang mengendalikan perilaku. Kita juga punya perasaan yang membuat kita bisa merasakan cinta dan benci, jijik dan kagum. Moral—yang disebut-sebut banyak orang itu—adalah produk pikiran yang memungkinkan kita memilah mana yang baik mana yang tidak menurut suatu ukuran tertentu di mana kita tumbuh di dalamnya.

---

Sensualitas bergantung dari kepala yang mencernanya. Seperti moral tadi, sensualitas yang ditangkap seseorang bergantung dari di mana ia tumbuh. Bila manusia itu lahir dan besar di tempat yang sedemikian ketat menutup tubuh, maka tapak dan punggung tangan atau kerlingan mata yang binar saja bisa membuat darah berdesiar. Tangan dan mata—yang mungkin menurut orang lain biasa saja itu—menjadi penuh sensualitas.

Pertanyaannya, di manakah kita tumbuh? Karena itu akan memperngaruhi parameter moral yang kita anut yang juga mempengaruhi definisi kita tentang sensualitas.

Ada yang bernafsu begitu melihat leher yang jenjang, kumis dan jambang, bulu di tangan dan dada, pipi yang empuk merona, bahkan jempol kaki, atau kadang melalui suara atau aroma tubuh. Semua itu bisa menjadi sensual buat seseorang tapi bisa menjadi biasa-biasa saja atau bahkan menjijikkan buat orang lain. Untuk urusan ini, tak semua kita sama. Tak ada yang salah dengan bernafsu; asal kita tak dikendalikan olehnya.

---

Pornografi memang cuma membawa nikmat yang sesaat dan seringkali menyesatkan pikiran-pikiran yang lemah. Ya, saya setuju: Pornografi tidak baik. Karenanya, ia peredarannya perlu diatur atau—menurut beberapa orang—harus dienyahkan sama sekali. Okay, saya tidak akan berpolemik tentang itu... silakan lakukan yang mana saja, karena ‘pemusnahan’ pun adalah sebentuk pengaturan.

Tapi apakah pikiran bisa diatur dengan undang-undang? Kalau ia terangsang melihat bibir yang menawan, bisakah itu dihapuskan seketika dengan peraturan? Dan lagi... kenapa wanita yang disasar? Bukankah RUU itu sebenarnya melecehkan syahwat laki-laki Indonesia yang menurut penyusun RUU mudah bangkit dan tak terkendalikan? Haruskah kita meninggalkan cara berpakaian kita dengan kebaya dan kemben? Haruskan semua dijubahi? Bagaimana pula mendefinisikan mana yang sensual mana yang tidak?

Kita seperti ingin mengusir tikus dengan membakar lumbung. Lihat ‘kobarannya’ di mana-mana... Mengapa masih mengotot ketika persatuan bangsa menjadi taruhannya? Mengapa keukeuh padahal manusia (dan pikirannya) tak bisa diseragamkan? Apakah undang-undang yang ada selama ini tak cukup? Jika begitu... oh betapa besarnya nafsumu sampai-sampai tak bisa kau kendalikan sendiri dan butuh undang-undang lagi untuk itu.

Sungguh, semua ini tak masuk akan buatku... selemah itukah kamu? setak-percaya-dirikah kamu, saudaraku? Mungkin perhatikan makanan yang masuk ke dalam tubuhmu.. mungkin kau terlalu banyak makan daging kambing atau bubuk tanduk badak, atau pelir macan?

Tubuh, sampai kapanpun akan tetap memancarkan daya tariknya. Bahkan ketika ditutup rapat-rapat, bahkan ketika ia dipenjara aturan.. nafsu akan bisa mengetuk kita kapan saja. Kenapa mengutuk tubuh karena membawa nafsu dalem paketnya? Jagalah tubuh, rawatlah baik-baik.. bukankah tubuh kita ini adalah kuil-Nya, rumah-Nya?

Wednesday, June 14, 2006

Stiker

Stiker memang tempelan. Ia melekat pada permukaan sesuatu, ia sering dipakai untuk menjelaskan, melambangkan, atau hanya menjadi sekedar kesenangan, dengan desain dan warna-warna juga kata-kata yang menarik. Tapi stiker tak bisa lebih dari itu, apalagi ketika ia mencoba mengungkapkan sesuatu yang tak bisa diukur dan ditimbang: keyakinan.

Belakangan ini banyak sekali yang memasang stiker di pantat mobilnya: “Islam The Only Way” atau lain waktu “Hindu Way of Life” atau “Christ Inside” dengan beragam bentuk dan warna-warna terang. Stiker-stiker itu menjadi identitas yang melambangkan si empunya mobil, sebuah siar kepada para pengguna jalan yang kebetulan berada di belakang mobil tadi dan sempat membaca tentang keyakinan (atau mungkin harapan) si pemilik kendaraan.

Tak ada yang salah dengan stiker-stiker yang ditempel di pantat mobil; asal tak ada yang tersinggung lalu menabrak dari belakang. Namun ada sebuah pertanyaan yang menggelitik saya: apakah agama—sekarang-sekarang ini—bernasib tak jauh dari sebuah stiker kecil nan manis... sebuah tempelan semata?

Seperti kodrat sebuah stiker yang sifatnya visual, agama lebih sering dibawa-bawa sebagai simbol yang cuma konsumsi mata. Ini terjadi di mana-mana; di demonstrasi-demonstrasi dan—kadang-kadang—di antara mereka yang berteriak-teriak marah, di televisi-televisi.. di mana-mana.

Bahwa mereka yang beragama adalah mereka yang memakai jubah, menjaga cambang dan janggut, yang tak pernah abai menyisihkan waktu untuk beribadah, membolak-balik lembaran buku agama, dan mereka dengan tasbih menghiasi tangan... semua yang bisa ditangkap mata, semua yang sifatnya luaran. Kalau sudah melakukan semua itu, kita aman, kita sudah beragama.. tak peduli apakah sesaat kemudian kita mencuri, atau merobek-robek persatuan bangsa, atau melempari rumah orang lain dengan batu karena agamanya tidak sama dengan agama kita, atau... sesederhana tak melakukan apa-apa.

Andai sebuah stiker bisa mengubah segalanya: mengubah krisis yang panjang jadi kemajuan, mengubah yang salah jadi benar, mengubah yang kafir menjadi beriman, mengubah si bodoh menjadi jenius, membikin si buruk rupa menjadi ikon kecantikan, membuat yang memasangnya masuk surga... oh andai itu ada.. aku pun mau menempel banyak-banyak—tak hanya pantat mobil—tapi kalau perlu seluruh badan ini ku tempeli dengan stiker.

Tuesday, June 06, 2006

Balada dari Tanah Hitam

Tsotsi mungkin bukanlah nama. Ia hanyalah sebuah kata yang dipilih dan dibentuk oleh kehidupan untuknya. Tsotsi adalah pemuda yang sedang berlari di atas tanah tua Afrika yang hitam. Ia berlari dan terus berlari di bawah langit yang hujan. Di sanalah Tsotsi mencoba menggenapi kata yang adalah namanya itu.


Hujan dan kenangan masa kecil membawa Tsotsi ke sebuah perumahan mewah di pinggiran kota Soweto, Afrika Selatan. Ia meringkuk dalam gelap bayang-bayang. Tak berapa lama, sebuah mobil melintas dan berhenti di depan gerbang salah satu rumah. Seorang wanita keluar lalu memanggil sang penghuni melalui intercom. Sebuah niat muncul di benak Tsotsi untuk mencuri mobil itu.

Tentu saja wanita itu melawan. Ia berteriak-teriak memperingatkan. Namun, dengan senjata di tangan, Tsotsi-lah sang pemenang. Meskipun belum pernah mengendarai mobil sebelumnya, ia nekat menginjak pedal gas dan menerabas malam. Sampai ia mendengar suara dari kursi belakang yang mengantar Tsotsi pada perjalanan lain dalam hidupnya.

Film yang memenangi piala Oscar untuk kategori film berbahasa asing terbaik tahun 2006 ini ditulis sekaligus disutradarai oleh Gavin Hood. Tsotsi berarti gangster, sesuatu yang tumbuh dari—dan kemudian memancarkan—kekerasan. Tsotsi, yang diperani dengan sangat baik oleh Presley Chweneyagae dikelilingi tiga orang teman: Boston—yang bercita-cita menjadi guru, Aap—yang lugu dan penurut, sobat Tsotsi sejak kecil, dan Butcher—yang sering tak segan membunuh korban-korban mereka.

Gavin Hood seolah ingin menyampaikan pesan dalam filmnya, bahwa kekerasan punya akar yang dalam dan menghujam dalam diri seseorang untuk bisa tumbuh menjadi perangai yang kejam. Kekerasan itu bagai virus yang tidak berasal dari dalam, ia dibentuk dari serangkaian kejadian yang perlahan-lahan membunuh kepercayaan seseorang pada kasih-sayang.

Adalah seorang anak kecil yang dipisah dari ibunya yang menderita AIDS dan diasuh oleh ayah yang pemabuk yang tak segan memukul. Anak itu lalu melarikan diri dan hidup di jalanan dalam naungan pipa-pipa drainase yang teronggok ditinggalkan bersama beberapa anak yang sama-sama disisihkan kehidupan. Di sanalah ia mempelajari kerasnya dunia. Ia harus terus hidup meskipun itu artinya mencuri, merampok, bahkan membunuh sekalipun. Ia lalu mengenal sebuah kata yang ia jadikan nama dan cita-cita: Tsotsi.

Bagaimanapun, manusia selalu rindu pada kasih-sayang. Tsotsi yang malam itu membawa lari mobil yang baru dicurinya, dikejutkan oleh suara tangis bayi dari kursi belakang. Ia tersentak lalu menabrak sebuah rambu jalan. Mobil itu pun berhenti.

Tak dinyana, Tsotsi tak tega meninggalkan bayi itu sendirian. Ia lalu memasukkan bayi itu ke dalam tas belanjaan besar, kemudian pulang. Tsotsi yang tak tahu apa-apa soal mengurus bayi kemudian dibingungkan soal popok dan susu. Ia mengganti popok bayi dengan koran seadanya dan memberinya makan susu kental manis.

Kejadian demi kejadian mengikuti. Ia bertemu dengan seorang janda cantik, Miriam (Terry Pheto), yang ia paksa menyusui si bayi. Tsotsi mulai mengenal cinta, dan ia pun melembut. Bagaimanapun manusia tak bisa hidup lama tanpa cinta, ia menjadi rapuh. Ia akan berusaha mencarinya dari orang-orang di sekelilingnya, atau dari anak-istri-suami-keluarga, dan sebagainya. Manusia menjadi keras karena ia sadar ia rapuh, dan karenanya ia berusaha menyakiti orang lain sebelum dirinya tersakiti.

Sunday, June 04, 2006

Kepribadian: Enneagram

Manusia selalu tertarik (atau.. sering gak kenal) dengan dirinya sendiri. Macem-macem yang manusia buat.. bikin pengelompokan sifat-sifat, ngukur-ngukur intelejensia—dari kemampuan matematika sampai spiritual—IQ, EQ, SQ, dan Q-Q lainnya. Ada yang menarik saya beberapa hari yang lalu di toko buku bagian psikologi. Di sana ada buku yang bertitel Enneagram. Pinging tahu.. saya baca.. menurut penulisnya, manusia dikelompokkan dalam 9 tipe. Yang mana tipe Anda?


1 Si Visioner: Rasional dan Idealis


Tipe ini sangat mematuhi aturan, punya tujuan/ideal/pedoman yang jelas, menguasai-diri, dan perfeksionis abis! Ketakutan terbesar: tampak buruk/jahat dan tak sempurna. Kebutuhan dasar: menjadi orang yang sempurna, punya integritas, menjadi seimbang.

Varian tipe ini dapat berkisar dari sifat yang condong ke sayap-2, menjadi Sang Pengacara yang detail dan tajam hingga condong ke sayap-9, menjadi Idealis.

Bila tertekan/stress, tipe-1 yang sangat kaku (metodis) ini menjadi moody dan gampang tersinggung seperti tipe-4 yang Perasa. Tapi bila merasa nyaman (dengan dirinya), tipe-1 yang pemarah dan kritis ini akan lebih spontan dan ceria seperti tipe-7 yang Bersemangat.


2 Sang Penolong: Penyayang dan Interpersonal

Tipe ini gemar berbagi, menunjukkan apa yang dirasakannya kepada orang lain, berusaha menyenangkan orang lain dan posesif. Ketakutan terbesar: merasa tidak diperlukan, tak cukup berharga untuk dicintai. Kebutuhan dasar: merasa dicintai.

Varian tipe ini dapat berkisar dari sifat yang condong ke sayap-1, menjadi Sang Pelayan yang selalu siap sedia hingga condong ke sayap-3, menjadi Sang Tuan Rumah yang memiliki segalanya untuk membantu.

Bila tertekan/stress, tipe-2 yang selalu ingin dibutuhkan ini menjadi agresif dan mendominasi seperti tipe-8 yang Berkuasa. Tapi bila merasa nyaman (dengan dirinya), tipe-2 yang bangga-diri dan sering berpura-pura ini akan lebih menyayangi diri dan menyadari keinginan juga perasaannya seperti tipe-4 yang Halus.


3 Si Jawara: Mengejar Sukses dan Pragmatik

Tipe ini mudah beradaptasi, selalu berusaha menunjukkan kemampuan terbaiknya, punya keinginan yang kuat untuk mengapai sesuatu dan sangat memperhatikan 'penampilan'. Ketakutan terbesar: gagal dan tidak berguna. Kebutuhan dasar: berharga dan penting.

Varian tipe ini dapat berkisar dari sifat yang condong ke sayap-2, menjadi Orang Baik-baik yang menawan hingga condong ke sayap-4, menjadi Profesional Sejati yang flamboyan.

Bila tertekan/stress, tipe-3 yang berkeinginan keras ini menjadi cuek dan bebas seperti tipe-9 yang 'Tak Perduli'. Tapi bila merasa nyaman (dengan dirinya), tipe-3 yang sering memperdaya ini akan lebih bisa bekerja sama dan berkomitmen seperti tipe-6 yang 'Setia'.


4 yang Romantis: Perasa dan Menikmati Kesendirian

Tipe ini ekspresif, hidup bagai dalam drama, individualis dan tempramental. Ketakutan terbesar: tidak punya status/identitas yang tegas atau merasa diri tak diinginkan. Kebutuhan dasar: menemukan peran dan posisinya (untuk menciptakan identitas).

Varian tipe ini dapat berkisar dari sifat yang condong ke sayap-3, menjadi Sang Aristrokrat yang agung hingga condong ke sayap-5, menjadi Bohemian yang punya hidup unik.

Bila tertekan/stress, tipe-4 yang menjaga jarak ini berubah jadi terlalu ikut campur dan bergantung seperti tipe-2 yang Selalu Ingin Terlibat. Tapi bila merasa nyaman (dengan dirinya), tipe-4 yang pencemburu dan emosinya bagai roller coaster ini akan lebih objektif dan bermoral seperti tipe-1.


5 Si Detektif: Intens dan Pemikir

Tipe ini tajam, intelektual, inovatif, menyimpan rahasia dan suka mengisolasi diri. Ketakutan terbesar: merasa tak bisa mengerjakan sesuatu, tak bisa membantu, atau tak terampil. Kebutuhan dasar: mampu dan berkompeten.

Varian tipe ini dapat berkisar dari sifat yang condong ke sayap-4, menjadi Iconoclast yang tak tak segan menyerang idola orang banyak hingga yang condong ke sayap-6, menjadi Pemecah Masalah.

Bila tertekan/stress, tipe-5 yang mandiri ini tiba-tiba menjadi hiperaktif dan tidak fokus mirip tipe-7 yang selalu Bersemangat pada banyak hal. Tapi bila merasa nyaman (dengan dirinya), tipe-5 yang rakus ini akan lebih percaya diri dan tegas mengambil keputusan seperti tipe-8 yang gemar Bertualang.


6 yang Tak Pernah Ingkar: Berkomitmen dan Mencari Rasa Aman

Tipe ini menawan dan menarik perhatian, bertanggung jawab, gelisah dan selalu curiga. Ketakutan terbesar: merasa tak didukung dan tak punya petunjuk apa yang harus dilakukan. Kebutuhan dasar: rasa aman dan penyemangat dari luar.

Varian tipe ini dapat berkisar dari sifat yang condong ke sayap-5, menjadi Pelindung yang serba detail mengawasi hingga yang condong ke sayap-7, Sahabat Sejati.

Bila tertekan/stress, tipe-6 yang penuh rasa taggung jawab ini tiba-tiba menjadi kompetitif dan arogan seperti tipe-3 yang Keras. Tapi bila merasa nyaman (dengan dirinya), tipe-6 yang selalu ketakutan dan pesimistik ini akan lebih santai dan agak optimistik seperti tipe-9 yang Damai.


7 yang Selalu Semangat: Sibuk dan Suka Bersenang-senang

Tipe ini berpembawaan spontan, mudah sekali memasuki lingkungan baru, sangat materialistik dan tidak fokus. Ketakutan terbesar: kekurangan materi atau keuntungan dan menderita/sakit/luka. Kebutuhan dasar: terpuaskan dan kebutuhannya terpenuhi.

Varian tipe ini dapat berkisar dari sifat yang condong ke sayap-6, menjadi Penghibur yang menyenangkan hingga condong ke sayap-8 yang Realis.

Bila tertekan/stress, tipe-7 yang tak fokus ini tiba-tiba menjadi perfeksionistik dan kritis seperti tipe-1 yang Kaku. Tapi bila merasa nyaman (dengan dirinya), tipe-7 yang gemar menyantap yang enak-enak ini akan lebih fokus dan tertarik pada kehidupan seperti tipe-5.


8 Sang Petualang: Perkasa dan Mendominasi

Tipe ini sangat percaya diri, pemberi solusi, punya keinginan kuat dan sering menantang orang lain. Ketakutan terbesar: disakiti dan dikendalikan pihak lain. Kebutuhan dasar: melindungi/menguasai diri dan nasibnya sendiri.

Varian tipe ini dapat berkisar dari sifat yang condong ke sayap-7 yang Pemberontak hingga condong ke sayap-9 yang Manis.

Bila tertekan/stress, tipe-8 yang penuh percaya diri ini tiba-tiba menjadi tertutup dan takut seperti tipe-5 yang Isolatif itu. Tapi bila merasa nyaman (dengan dirinya), tipe-8 yang seksual dan mengendalikan ini akan lebih terbuka dan penyayang seperti tipe-2.


9 Si Santai: Asyik dan Mengecilkan Diri

Tipe ini sangat terbuka, mudah menghilangkan kegelisahan/ketakutan orang lain, penurut namun sering tak hirau pada pencapaian orang lain (dengan mengatakan ia pun bisa melakukan yang seperti itu). Ketakutan terbesar: kehilangan dan perpisahan. Kebutuhan dasar: diri yang tak bergejolak.

Varian tipe ini dapat berkisar dari sifat yang condong ke sayap-8 menjadi Wasit yang memastikan 'permainan' berlangsung dengan baik hingga condong ke sayap-1 yang Pemimpi.

Bila tertekan/stress, tipe-9 ini tiba-tiba menjadi gelisah dan takut seperti tipe-6 yang Penggelisah. Tapi bila merasa nyaman (dengan dirinya), tipe-9 yang pemalas/penunda-nunda dan rendah diri perduli pada perkembangan diri dan lebih berenergi seperti tipe-3.

Wednesday, May 31, 2006

Pancasila

Lama sudah kata-kata ini tak terdengar lagi diumbar-umbar. Buat saya-kecil, Pancasila adalah hapalan dengan 36 (trus jadi 45... nomer cantik rupanya) butirnya (ini siapa sih yang mbikin?!) yang sering membuat pening—karena saya memang susah mengingat yang panjang-panjang. Boro-boro itu, wong nomer handphone sendiri saja saya suka lupa.

Jaman berganti. Soeharto—dengan pemerintahannya yang lebih mirip kerajaan dengan mistisismenya terhadap lambang-lambang kenegaraan termasuk jabatan kepresidenan itu sendiri—akhirnya tumbang delapan tahun lalu. Bersamanya tumbang pula keangkeran Istana, UUD 1945, Pohon Beringin, dan Pancasila. Yang saya sebut terakhir ini mungkin nasibnya paling tersisih. Ia tak semenarik Istana yang diperebutkan (juga sekarang sering kecolongan atau kalau tidak ya.. digerogoti rayap dan tikus). Ia tak seseru UUD yang sudah empat kali diamandemen. Bahkan ia bukan tandingan Pohon Beringin—dan partai yang memakainya sebagai logo—yang pemilu kemarin paling banyak dicoblos orang. Sementara, Pancasila—juga Garuda-nya—terbang entah di mana.

Masih inget bunyi sila-silanya? Nggak.. saya nggak akan nanya soal butir-butirnya yang bikin repot itu, koq. Sekedar mengingatkan (kembali ke masa-masa sekolah dulu):
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Pemerintah Orde Baru memasukkan Pancasila dalam kurikulum nasional. Sebut saja PMP (Pendidikan Moral Pancasila), PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa), Penataran P4, PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan), dsb. Namun sayang, murid-murid—termasuk saya waktu itu—cuma kebagian menghapal dan (diharap) menjawab pertanyaan sesuai dengan kunci jawaban yang seragam dalam ujian-ujian Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Pancasila menjadi simbol yang dipaksakan. Ia tak hidup karena dikubur dalam-dalam oleh berbagai mistifikasi. Tak heran Pancasila ditinggalkan.

(Ketika itu) jangan berharap ada ruang untuk reintrepretasi, redefinisi. Perbedaan hanya punya satu makna: subversif. Pancasila tak diberi kesempatan untuk tumbuh dan menemukan ruang bebas dalam kehidupan praksis masyarakat. Hasilnya hanya kemandekan; kemandekan yang menghantar pada krisis jati diri. Kita sekarat karena ‘akar’ kita dikerat.

Besok, bangsa Indonesia mengenang lahirnya Pancasila 61 tahun yang lalu. Sebuah simposium besar digalang di Jakarta yang dihadiri Presiden dan para petinggi dan intelektualis bangsa. Semoga melaluinya, Garuda Pancasila kita bisa bangkit dari puing-puing negeri ini seperti burung Phoenix untuk terus hidup dan bukan sekedar jadi pajangan dingin di dinding.

Ya, Pancasila bukanlah agama tapi sebentuk ikhtiar untuk mencapai kualitas kehidupan bersama yang semakin membaik. Dan, ikthiar tak bisa mati; ia bergelut dan bergerak.

Hanya Pancasila yang bisa mempersatukan yang Batak, yang Tionghoa, yang Papua, yang Bali, yang Buddha, yang Kristen, yang Hindu, yang Islam... semua bisa berpayung di bawahnya dan kita berkumpul menjadi satu bangsa. Tujuan kita bernegara adalah mencapai kesejahteraan bersama; aku sejahtera, kamu sejahtera, dia juga sejahtera. Tidak! Agama dan syariat-mu tidak bisa membuat kita berkumpul dan bertekat bersama... tapi Pancasila bisa.

Jayalah Indonesia!