Gempa
Di sebuah kuliah sang dosen pernah berkata, “Nusantara lahir dari kekacauan.” Ia tak sedang bicara soal politik atau menuturkan sejarah manusia, ia bicara tentang tanah yang kita pijak. Bumi selalu berganti wajah. Bumi dan hamparan saujananya ini tak sedang diam, ia berubah dan bergerak meski perlahan.
Lapisan terluar bumi bagaikan keping-keping puzzle yang mengapung di atas cairan panas yang terus bergerak. Setiap saat ada tepian kepingan yang terbentuk dan di tepian keping yang lain ada yang melesak masuk ke perut bumi lalu meleleh.
Adalah lempeng mahabesar bernama Eurasia--satu dari sekian banyak lempeng puzzle kulit bumi--yang bertabrakkan di sebelah tenggara dengan lempeng Australia. Lempeng Eurasia tertahan dan terlipat sedang lempeng Australia terhujam masuk ke perut bumi.
Lipatan Eurasia ini membentuk Kepulauan Nusantara dan lelehan Australia yang tertekuk masuk itu mendesak ke atas bagai gelembung-gelembung yang menciptakan rangkaian pegunungan berapi dari ujung sumatra, jawa, hingga kepulauan Sunda kecil di timur. Kita hidup di tanah yang bergejolak dengan gunung-gunung yang sering berasap dan kita sungguh-sungguh rapuh berdiri di atasnya.
---
Sabtu masih pagi. Matahari baru saja naik. Kebanyakan orang sedang bersantai dan menikmati akhir pekan yang panjang. Tapi ada cerita lain di Jogja: orang-orang berlari ketakuatan, panik dan sebagian terluka juga menemui ajal.
Tanah bergetar hebat. Bangunan dan tiang-tiang roboh. Jalan retak dan membelah. Kota-kota berantakan. Bandara rusak dan penerbangan dibatalkan. Semua itu hanya terjadi dalam 57 detik! Tak perlu semenit, bumi menunjukkan kedahsyatannya yang jarang kita sadari.
Gempa yang berpusat di lepas pantai Jogjakarta di bawah samudera Hindia pada kedalaman 33 km melepaskan kekuatan yang dicatat 5,9 SR beserta rekaman ketakutan dalam benak mereka yang terguncang. Mereka masih ingat Aceh 2004. Mereka berlari dengan kekhawatiran akan datangnya tsunami. Untung itu tak terjadi.
Hingga saat ini belum ada teknologi yang bisa memperkirakan--dalam perkiraan waktu yang pendek--kapan gempa bisa terjadi. Peristiwa itu begitu tiba-tiba. Gempa adalah fenomena alam yang sebenarnya biasa (baca: sering) terjadi. Tapi bila manusia menjadi objek yang menderita karenanya, seperti di Jogja, ia menjadi bencana.
Bagi mereka yang mengimani keberadaan Tuhan selalu ada pesan yang tersimpan di setiap kejadian. Apalagi yang sebesar ini. Manusia selalu mencari makna; di balik muntahan Merapi, terjangan tsunami, luruhan longsor-tanah, bah banjir, dan di antara amuk api pelajaran itu tak pernah berhenti. Apakah bencana itu memberi peringatan, ujian atau bahkan azab atau mungkin ia hanya kejadian biasa yang sejenak mengisi kolom-kolom surat kabar dan berita di teve lalu terlupakan kemudian kita kembali bertengkar dan saling menghancurkan seolah alam tak cukup memorakporandakan? Tak ingatkah bahwa kita semua sedang berdiam di negeri yang lahir dari ‘kekacauan’--masihkah kita butuh bencana yang kita buat sendiri?
Semoga mereka yang tertimpa musibah diberi kekuatan untuk pulih lalu bangkit lagi. Semoga!
Lapisan terluar bumi bagaikan keping-keping puzzle yang mengapung di atas cairan panas yang terus bergerak. Setiap saat ada tepian kepingan yang terbentuk dan di tepian keping yang lain ada yang melesak masuk ke perut bumi lalu meleleh.
Adalah lempeng mahabesar bernama Eurasia--satu dari sekian banyak lempeng puzzle kulit bumi--yang bertabrakkan di sebelah tenggara dengan lempeng Australia. Lempeng Eurasia tertahan dan terlipat sedang lempeng Australia terhujam masuk ke perut bumi.
Lipatan Eurasia ini membentuk Kepulauan Nusantara dan lelehan Australia yang tertekuk masuk itu mendesak ke atas bagai gelembung-gelembung yang menciptakan rangkaian pegunungan berapi dari ujung sumatra, jawa, hingga kepulauan Sunda kecil di timur. Kita hidup di tanah yang bergejolak dengan gunung-gunung yang sering berasap dan kita sungguh-sungguh rapuh berdiri di atasnya.
---
Sabtu masih pagi. Matahari baru saja naik. Kebanyakan orang sedang bersantai dan menikmati akhir pekan yang panjang. Tapi ada cerita lain di Jogja: orang-orang berlari ketakuatan, panik dan sebagian terluka juga menemui ajal.
Tanah bergetar hebat. Bangunan dan tiang-tiang roboh. Jalan retak dan membelah. Kota-kota berantakan. Bandara rusak dan penerbangan dibatalkan. Semua itu hanya terjadi dalam 57 detik! Tak perlu semenit, bumi menunjukkan kedahsyatannya yang jarang kita sadari.
Gempa yang berpusat di lepas pantai Jogjakarta di bawah samudera Hindia pada kedalaman 33 km melepaskan kekuatan yang dicatat 5,9 SR beserta rekaman ketakutan dalam benak mereka yang terguncang. Mereka masih ingat Aceh 2004. Mereka berlari dengan kekhawatiran akan datangnya tsunami. Untung itu tak terjadi.
Hingga saat ini belum ada teknologi yang bisa memperkirakan--dalam perkiraan waktu yang pendek--kapan gempa bisa terjadi. Peristiwa itu begitu tiba-tiba. Gempa adalah fenomena alam yang sebenarnya biasa (baca: sering) terjadi. Tapi bila manusia menjadi objek yang menderita karenanya, seperti di Jogja, ia menjadi bencana.
Bagi mereka yang mengimani keberadaan Tuhan selalu ada pesan yang tersimpan di setiap kejadian. Apalagi yang sebesar ini. Manusia selalu mencari makna; di balik muntahan Merapi, terjangan tsunami, luruhan longsor-tanah, bah banjir, dan di antara amuk api pelajaran itu tak pernah berhenti. Apakah bencana itu memberi peringatan, ujian atau bahkan azab atau mungkin ia hanya kejadian biasa yang sejenak mengisi kolom-kolom surat kabar dan berita di teve lalu terlupakan kemudian kita kembali bertengkar dan saling menghancurkan seolah alam tak cukup memorakporandakan? Tak ingatkah bahwa kita semua sedang berdiam di negeri yang lahir dari ‘kekacauan’--masihkah kita butuh bencana yang kita buat sendiri?
Minggu, 28 Mei 2006
Semoga mereka yang tertimpa musibah diberi kekuatan untuk pulih lalu bangkit lagi. Semoga!
0 Comments:
Post a Comment
<< Home