Tubuh
- sekali lagi tentang RUU APP -
Suara yang menyeru-nyeru soal RUU APP sudah banyak. Suara-suara itu sudah ruah, terlalu riuh bahkan mulai terasa menjemukan. Di satu sisi RUU ini didukung penuh; tak ada kata mundur. Mereka berdalih, inilah cara menyelamatkan moral bangsa yang—menurut mereka—telah sedemikian terpuruk. Di seberangnya, ada suara-suara yang berkata bahwa RUU ini hanya sampah. Dan, seperti sampah, mereka mencium busuknya.
---
Tubuh. Setiap kita punya sepaket tubuh. Ada kaki dan tangan yang sepasang. Ada pula kepala dengan mata, hidung, mulut, kuping, alis yang kita sebut wajah. Ada rambut yang hitam mengakar di kulit kepala. Ada leher, dada, payudara, pusar, perut, kelamin, pantat dan punggung. Itu baru yang nampak.
Yang tak bisa dijamah mata dan diraba, kita semua juga punya: tenaga yang menggerakkan badan dan pikiran yang mengendalikan perilaku. Kita juga punya perasaan yang membuat kita bisa merasakan cinta dan benci, jijik dan kagum. Moral—yang disebut-sebut banyak orang itu—adalah produk pikiran yang memungkinkan kita memilah mana yang baik mana yang tidak menurut suatu ukuran tertentu di mana kita tumbuh di dalamnya.
---
Sensualitas bergantung dari kepala yang mencernanya. Seperti moral tadi, sensualitas yang ditangkap seseorang bergantung dari di mana ia tumbuh. Bila manusia itu lahir dan besar di tempat yang sedemikian ketat menutup tubuh, maka tapak dan punggung tangan atau kerlingan mata yang binar saja bisa membuat darah berdesiar. Tangan dan mata—yang mungkin menurut orang lain biasa saja itu—menjadi penuh sensualitas.
Pertanyaannya, di manakah kita tumbuh? Karena itu akan memperngaruhi parameter moral yang kita anut yang juga mempengaruhi definisi kita tentang sensualitas.
Ada yang bernafsu begitu melihat leher yang jenjang, kumis dan jambang, bulu di tangan dan dada, pipi yang empuk merona, bahkan jempol kaki, atau kadang melalui suara atau aroma tubuh. Semua itu bisa menjadi sensual buat seseorang tapi bisa menjadi biasa-biasa saja atau bahkan menjijikkan buat orang lain. Untuk urusan ini, tak semua kita sama. Tak ada yang salah dengan bernafsu; asal kita tak dikendalikan olehnya.
---
Pornografi memang cuma membawa nikmat yang sesaat dan seringkali menyesatkan pikiran-pikiran yang lemah. Ya, saya setuju: Pornografi tidak baik. Karenanya, ia peredarannya perlu diatur atau—menurut beberapa orang—harus dienyahkan sama sekali. Okay, saya tidak akan berpolemik tentang itu... silakan lakukan yang mana saja, karena ‘pemusnahan’ pun adalah sebentuk pengaturan.
Tapi apakah pikiran bisa diatur dengan undang-undang? Kalau ia terangsang melihat bibir yang menawan, bisakah itu dihapuskan seketika dengan peraturan? Dan lagi... kenapa wanita yang disasar? Bukankah RUU itu sebenarnya melecehkan syahwat laki-laki Indonesia yang menurut penyusun RUU mudah bangkit dan tak terkendalikan? Haruskah kita meninggalkan cara berpakaian kita dengan kebaya dan kemben? Haruskan semua dijubahi? Bagaimana pula mendefinisikan mana yang sensual mana yang tidak?
Kita seperti ingin mengusir tikus dengan membakar lumbung. Lihat ‘kobarannya’ di mana-mana... Mengapa masih mengotot ketika persatuan bangsa menjadi taruhannya? Mengapa keukeuh padahal manusia (dan pikirannya) tak bisa diseragamkan? Apakah undang-undang yang ada selama ini tak cukup? Jika begitu... oh betapa besarnya nafsumu sampai-sampai tak bisa kau kendalikan sendiri dan butuh undang-undang lagi untuk itu.
Sungguh, semua ini tak masuk akan buatku... selemah itukah kamu? setak-percaya-dirikah kamu, saudaraku? Mungkin perhatikan makanan yang masuk ke dalam tubuhmu.. mungkin kau terlalu banyak makan daging kambing atau bubuk tanduk badak, atau pelir macan?
Tubuh, sampai kapanpun akan tetap memancarkan daya tariknya. Bahkan ketika ditutup rapat-rapat, bahkan ketika ia dipenjara aturan.. nafsu akan bisa mengetuk kita kapan saja. Kenapa mengutuk tubuh karena membawa nafsu dalem paketnya? Jagalah tubuh, rawatlah baik-baik.. bukankah tubuh kita ini adalah kuil-Nya, rumah-Nya?
Suara yang menyeru-nyeru soal RUU APP sudah banyak. Suara-suara itu sudah ruah, terlalu riuh bahkan mulai terasa menjemukan. Di satu sisi RUU ini didukung penuh; tak ada kata mundur. Mereka berdalih, inilah cara menyelamatkan moral bangsa yang—menurut mereka—telah sedemikian terpuruk. Di seberangnya, ada suara-suara yang berkata bahwa RUU ini hanya sampah. Dan, seperti sampah, mereka mencium busuknya.
---
Tubuh. Setiap kita punya sepaket tubuh. Ada kaki dan tangan yang sepasang. Ada pula kepala dengan mata, hidung, mulut, kuping, alis yang kita sebut wajah. Ada rambut yang hitam mengakar di kulit kepala. Ada leher, dada, payudara, pusar, perut, kelamin, pantat dan punggung. Itu baru yang nampak.
Yang tak bisa dijamah mata dan diraba, kita semua juga punya: tenaga yang menggerakkan badan dan pikiran yang mengendalikan perilaku. Kita juga punya perasaan yang membuat kita bisa merasakan cinta dan benci, jijik dan kagum. Moral—yang disebut-sebut banyak orang itu—adalah produk pikiran yang memungkinkan kita memilah mana yang baik mana yang tidak menurut suatu ukuran tertentu di mana kita tumbuh di dalamnya.
---
Sensualitas bergantung dari kepala yang mencernanya. Seperti moral tadi, sensualitas yang ditangkap seseorang bergantung dari di mana ia tumbuh. Bila manusia itu lahir dan besar di tempat yang sedemikian ketat menutup tubuh, maka tapak dan punggung tangan atau kerlingan mata yang binar saja bisa membuat darah berdesiar. Tangan dan mata—yang mungkin menurut orang lain biasa saja itu—menjadi penuh sensualitas.
Pertanyaannya, di manakah kita tumbuh? Karena itu akan memperngaruhi parameter moral yang kita anut yang juga mempengaruhi definisi kita tentang sensualitas.
Ada yang bernafsu begitu melihat leher yang jenjang, kumis dan jambang, bulu di tangan dan dada, pipi yang empuk merona, bahkan jempol kaki, atau kadang melalui suara atau aroma tubuh. Semua itu bisa menjadi sensual buat seseorang tapi bisa menjadi biasa-biasa saja atau bahkan menjijikkan buat orang lain. Untuk urusan ini, tak semua kita sama. Tak ada yang salah dengan bernafsu; asal kita tak dikendalikan olehnya.
---
Pornografi memang cuma membawa nikmat yang sesaat dan seringkali menyesatkan pikiran-pikiran yang lemah. Ya, saya setuju: Pornografi tidak baik. Karenanya, ia peredarannya perlu diatur atau—menurut beberapa orang—harus dienyahkan sama sekali. Okay, saya tidak akan berpolemik tentang itu... silakan lakukan yang mana saja, karena ‘pemusnahan’ pun adalah sebentuk pengaturan.
Tapi apakah pikiran bisa diatur dengan undang-undang? Kalau ia terangsang melihat bibir yang menawan, bisakah itu dihapuskan seketika dengan peraturan? Dan lagi... kenapa wanita yang disasar? Bukankah RUU itu sebenarnya melecehkan syahwat laki-laki Indonesia yang menurut penyusun RUU mudah bangkit dan tak terkendalikan? Haruskah kita meninggalkan cara berpakaian kita dengan kebaya dan kemben? Haruskan semua dijubahi? Bagaimana pula mendefinisikan mana yang sensual mana yang tidak?
Kita seperti ingin mengusir tikus dengan membakar lumbung. Lihat ‘kobarannya’ di mana-mana... Mengapa masih mengotot ketika persatuan bangsa menjadi taruhannya? Mengapa keukeuh padahal manusia (dan pikirannya) tak bisa diseragamkan? Apakah undang-undang yang ada selama ini tak cukup? Jika begitu... oh betapa besarnya nafsumu sampai-sampai tak bisa kau kendalikan sendiri dan butuh undang-undang lagi untuk itu.
Sungguh, semua ini tak masuk akan buatku... selemah itukah kamu? setak-percaya-dirikah kamu, saudaraku? Mungkin perhatikan makanan yang masuk ke dalam tubuhmu.. mungkin kau terlalu banyak makan daging kambing atau bubuk tanduk badak, atau pelir macan?
Tubuh, sampai kapanpun akan tetap memancarkan daya tariknya. Bahkan ketika ditutup rapat-rapat, bahkan ketika ia dipenjara aturan.. nafsu akan bisa mengetuk kita kapan saja. Kenapa mengutuk tubuh karena membawa nafsu dalem paketnya? Jagalah tubuh, rawatlah baik-baik.. bukankah tubuh kita ini adalah kuil-Nya, rumah-Nya?
0 Comments:
Post a Comment
<< Home