Balada dari Tanah Hitam
Tsotsi mungkin bukanlah nama. Ia hanyalah sebuah kata yang dipilih dan dibentuk oleh kehidupan untuknya. Tsotsi adalah pemuda yang sedang berlari di atas tanah tua Afrika yang hitam. Ia berlari dan terus berlari di bawah langit yang hujan. Di sanalah Tsotsi mencoba menggenapi kata yang adalah namanya itu.
Hujan dan kenangan masa kecil membawa Tsotsi ke sebuah perumahan mewah di pinggiran kota Soweto, Afrika Selatan. Ia meringkuk dalam gelap bayang-bayang. Tak berapa lama, sebuah mobil melintas dan berhenti di depan gerbang salah satu rumah. Seorang wanita keluar lalu memanggil sang penghuni melalui intercom. Sebuah niat muncul di benak Tsotsi untuk mencuri mobil itu.
Tentu saja wanita itu melawan. Ia berteriak-teriak memperingatkan. Namun, dengan senjata di tangan, Tsotsi-lah sang pemenang. Meskipun belum pernah mengendarai mobil sebelumnya, ia nekat menginjak pedal gas dan menerabas malam. Sampai ia mendengar suara dari kursi belakang yang mengantar Tsotsi pada perjalanan lain dalam hidupnya.
Film yang memenangi piala Oscar untuk kategori film berbahasa asing terbaik tahun 2006 ini ditulis sekaligus disutradarai oleh Gavin Hood. Tsotsi berarti gangster, sesuatu yang tumbuh dari—dan kemudian memancarkan—kekerasan. Tsotsi, yang diperani dengan sangat baik oleh Presley Chweneyagae dikelilingi tiga orang teman: Boston—yang bercita-cita menjadi guru, Aap—yang lugu dan penurut, sobat Tsotsi sejak kecil, dan Butcher—yang sering tak segan membunuh korban-korban mereka.
Gavin Hood seolah ingin menyampaikan pesan dalam filmnya, bahwa kekerasan punya akar yang dalam dan menghujam dalam diri seseorang untuk bisa tumbuh menjadi perangai yang kejam. Kekerasan itu bagai virus yang tidak berasal dari dalam, ia dibentuk dari serangkaian kejadian yang perlahan-lahan membunuh kepercayaan seseorang pada kasih-sayang.
Adalah seorang anak kecil yang dipisah dari ibunya yang menderita AIDS dan diasuh oleh ayah yang pemabuk yang tak segan memukul. Anak itu lalu melarikan diri dan hidup di jalanan dalam naungan pipa-pipa drainase yang teronggok ditinggalkan bersama beberapa anak yang sama-sama disisihkan kehidupan. Di sanalah ia mempelajari kerasnya dunia. Ia harus terus hidup meskipun itu artinya mencuri, merampok, bahkan membunuh sekalipun. Ia lalu mengenal sebuah kata yang ia jadikan nama dan cita-cita: Tsotsi.
Bagaimanapun, manusia selalu rindu pada kasih-sayang. Tsotsi yang malam itu membawa lari mobil yang baru dicurinya, dikejutkan oleh suara tangis bayi dari kursi belakang. Ia tersentak lalu menabrak sebuah rambu jalan. Mobil itu pun berhenti.
Tak dinyana, Tsotsi tak tega meninggalkan bayi itu sendirian. Ia lalu memasukkan bayi itu ke dalam tas belanjaan besar, kemudian pulang. Tsotsi yang tak tahu apa-apa soal mengurus bayi kemudian dibingungkan soal popok dan susu. Ia mengganti popok bayi dengan koran seadanya dan memberinya makan susu kental manis.
Kejadian demi kejadian mengikuti. Ia bertemu dengan seorang janda cantik, Miriam (Terry Pheto), yang ia paksa menyusui si bayi. Tsotsi mulai mengenal cinta, dan ia pun melembut. Bagaimanapun manusia tak bisa hidup lama tanpa cinta, ia menjadi rapuh. Ia akan berusaha mencarinya dari orang-orang di sekelilingnya, atau dari anak-istri-suami-keluarga, dan sebagainya. Manusia menjadi keras karena ia sadar ia rapuh, dan karenanya ia berusaha menyakiti orang lain sebelum dirinya tersakiti.
Hujan dan kenangan masa kecil membawa Tsotsi ke sebuah perumahan mewah di pinggiran kota Soweto, Afrika Selatan. Ia meringkuk dalam gelap bayang-bayang. Tak berapa lama, sebuah mobil melintas dan berhenti di depan gerbang salah satu rumah. Seorang wanita keluar lalu memanggil sang penghuni melalui intercom. Sebuah niat muncul di benak Tsotsi untuk mencuri mobil itu.
Tentu saja wanita itu melawan. Ia berteriak-teriak memperingatkan. Namun, dengan senjata di tangan, Tsotsi-lah sang pemenang. Meskipun belum pernah mengendarai mobil sebelumnya, ia nekat menginjak pedal gas dan menerabas malam. Sampai ia mendengar suara dari kursi belakang yang mengantar Tsotsi pada perjalanan lain dalam hidupnya.
Film yang memenangi piala Oscar untuk kategori film berbahasa asing terbaik tahun 2006 ini ditulis sekaligus disutradarai oleh Gavin Hood. Tsotsi berarti gangster, sesuatu yang tumbuh dari—dan kemudian memancarkan—kekerasan. Tsotsi, yang diperani dengan sangat baik oleh Presley Chweneyagae dikelilingi tiga orang teman: Boston—yang bercita-cita menjadi guru, Aap—yang lugu dan penurut, sobat Tsotsi sejak kecil, dan Butcher—yang sering tak segan membunuh korban-korban mereka.
Gavin Hood seolah ingin menyampaikan pesan dalam filmnya, bahwa kekerasan punya akar yang dalam dan menghujam dalam diri seseorang untuk bisa tumbuh menjadi perangai yang kejam. Kekerasan itu bagai virus yang tidak berasal dari dalam, ia dibentuk dari serangkaian kejadian yang perlahan-lahan membunuh kepercayaan seseorang pada kasih-sayang.
Adalah seorang anak kecil yang dipisah dari ibunya yang menderita AIDS dan diasuh oleh ayah yang pemabuk yang tak segan memukul. Anak itu lalu melarikan diri dan hidup di jalanan dalam naungan pipa-pipa drainase yang teronggok ditinggalkan bersama beberapa anak yang sama-sama disisihkan kehidupan. Di sanalah ia mempelajari kerasnya dunia. Ia harus terus hidup meskipun itu artinya mencuri, merampok, bahkan membunuh sekalipun. Ia lalu mengenal sebuah kata yang ia jadikan nama dan cita-cita: Tsotsi.
Bagaimanapun, manusia selalu rindu pada kasih-sayang. Tsotsi yang malam itu membawa lari mobil yang baru dicurinya, dikejutkan oleh suara tangis bayi dari kursi belakang. Ia tersentak lalu menabrak sebuah rambu jalan. Mobil itu pun berhenti.
Tak dinyana, Tsotsi tak tega meninggalkan bayi itu sendirian. Ia lalu memasukkan bayi itu ke dalam tas belanjaan besar, kemudian pulang. Tsotsi yang tak tahu apa-apa soal mengurus bayi kemudian dibingungkan soal popok dan susu. Ia mengganti popok bayi dengan koran seadanya dan memberinya makan susu kental manis.
Kejadian demi kejadian mengikuti. Ia bertemu dengan seorang janda cantik, Miriam (Terry Pheto), yang ia paksa menyusui si bayi. Tsotsi mulai mengenal cinta, dan ia pun melembut. Bagaimanapun manusia tak bisa hidup lama tanpa cinta, ia menjadi rapuh. Ia akan berusaha mencarinya dari orang-orang di sekelilingnya, atau dari anak-istri-suami-keluarga, dan sebagainya. Manusia menjadi keras karena ia sadar ia rapuh, dan karenanya ia berusaha menyakiti orang lain sebelum dirinya tersakiti.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home